RANGKUMAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SD MODUL 1-2
MODUL 1 : HAKIKAT BAHASA DAN PEMBELAJARAN BAHASA
1. Pengertian Bahasa
Menurut beberapa sumber dari para ahli, bahasa adalah:
a. Bahasa adalah sebuah simbol bunyi arbiter yang digunakan untuk komunikasi manusia (Wardhaugh, 1972).
b. Bahasa adalah sebuah alat untuk mengomunikasikan gagasan atau perasaan secara sistematis melalui penggunaan tanda, suara, gerak atau tanda-tanda yang disepakati yang memiliki makna yang dipahami (Webster’s New Collegiate Dictionary, 1981).
c. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota sosial untuk berkomunikasi, bekerja sama dan mengidentifikasi diri (Kentjono, Ed., 1984:2).
d. Bahasa adalah salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia (Hilliday dan Hasan, 1991).
Dari pandangan para ahli diatas ada yang menyatakan bahasa melalui penekanan sistem, ala,t dan juga pada komunikasi.
2. Karakteristik Bahasa
Pada dasarnya konsep bahasa memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Bahasa adalah sebuah sistem
Sebagai sebuah sistem, bahasa terdiri dari sejumlah unsur yang saling terkait dan tertata secara beraturan, serta memiliki makna. Unsur-unsur bahasa diatur, seperti pola yang berulang. Kalau salah satu bagian terdeteksi maka keseluruhan bagiannya dapat diramalkan.
Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang berkombinasi dengan kaidah-kaidah yang dapat diramalkan. Seandainya bahasa itu tidak sistematik maka bahasa itu akan kacau, tidak bermakna, dan tidak dapat dipelajari. Sistemis artinya bahasa terdiri dari sejumlah subsistem, yang satu sama lain saling terkait dan membentuk satu kesatuan utuh yang bermakna. Bahasa terdiri dari tiga subsistem, yaitu subsistem fonologi (bunyi-bunyi bahasa), subsistem gramatika (morfologi, sintaksis, dan wacana), serta subsistem leksikon (perbendaharaan kata). Ketiga subsistem itu menghasilkan dunia bunyi dan dunia makna, yang membentuk sistem bahasa.
b. Bahasa merupakan sistem lambang yang arbiter (mana suka) dan konvensional
Bahasa merupakan sistem simbol, baik berupa bunyi dan/atau tulisan yang dipergunakan dan disepakati oleh suatu kelompok sosial. Sebagai sebuah simbol, bahasa memiliki arti. Pertama, penamaan suatu objek atau peristiwa yang sama antara satu masyarakat bahasa dengan masyarakat bahasa lainnya tidak sama. Kedua, bahasa terdiri dari aturan-aturan atau kaidah yang disepakati. Ketiga, tidak ada hubungan langsung dan wajib antara lambang bahasa dengan objeknya. Hubungan keduanya bersifat mana suka (arbiter).
Memang ada beberapa kata yang bersifat onomatopoe, artinya penamaan suatu objek atau peristiwa berdasarkan ciri bunyi atau ciri lain yang dimilikinya, seperti cecak, tokek, tekukur, gemerincing atau kokok. Namun demikian, kata yang bersifat onomatope itu tidak banyak jumlahnya. Jadi, penamaan sesuatu itu (benda, sifat atau peristiwa) semata-mata hanya karena kesepakatan sosial masyarakat penggunanya. Karena itulah bahasa bersifat konvensional atau kesepakatan.
c. Bahasa bersifat produktif
Dari huruf-huruf per kata dan selanjutnya dapat dihasilkan satuan bahasa dalam jumlah yang tak terbatas, ribuan kata, kalimat atau wacana bacaan dengan segala variasinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat penggunanya. Oleh karena itu, bahasa itu bersifat produktif.
d. Bahasa memiliki fungsi dan variasi
Fungsi bahasa adalah sebagai alat kominikasi, sedangkan penggunaan bahasa oleh suatu kelompok disebut variasi atau ragam bahasa.
3. Fungsi Bahasa
Halliday (1975, dalam Tompkins dan Hoskisson, 1995) secara khusus mengidentifikasi fungsi-fungsi bahasa sebagai berikut:
a. Fungsi personal, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, sikap atau perasaan pemakainya.
b. Fungsi regulator, yaitu penggunaan bahasa untuk mempengaruhi sikap atau pikiran/pendapat orang lain, seperti bujukan, rayuan, permohonan atau perintah.
c. Fungsi interaksional, yaitu penggunaan bahasa untuk menjalin kontak dan menjaga hubungan sosial, seperti sapaan, basa-basi, simpati atau penghiburan.
d. Fungsi informatif, yaitu penggunaan bahasa untuk menyampaikan informasi, ilmu pengetahuan atau budaya.
e. Fungsi heuristik, yaitu penggunaan bahasa untuk belajar atau memperoleh informasi, seperti pertanyaan atau permintaan penjelasan atas sesuatu hal.
f. Fungsi imajinatif, yaitu penggunaan bahasa untuk memenuhi dan menyalurkan rasa estetis (indah), seperti nyanyian dan karya sastra.
g. Fungsi instrumental, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan keinginan atau kebutuhan pemakainya, seperti saya ingin ….
4. Ragam Bahasa
Berdasarkan pemakai dan pemakaiannya:
a. Berdasarkan pemakainya ragam bahasa dapat dilihat dari segi asal daerah penutur yang melahirkan dialeg geografis, kelompok sosial yang melahirkan dialeg atau ragam sosial dengan segala variasinya serta sikap bahasa yang melahirkan ragam resmi dan tak resmi atau keseharian.
b. Berdasarkan bertolak dari pemakaiannya, bidang perbincangan, yang melahirkan ragam ilmiah, ragam sastra, ragam jurnalistik dan ragam-ragam lainnya. Media berbahasa, yang memunculkan ragam lisan dan tulis, serta situasi bahasa, yang memunculkan ragam baku dan tak baku.
B. Hakikat Pembelajaran Bahasa
1. Konsep Belajar
Belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara tetap melalui pengalaman dan bahasa yang dilakukan secara aktif. Hasil belajar atau perubahan tingkah laku itu berkaitan dengan pengetahuan, sikap atau keterampilan yang dibangun siswa berdasarkan apa yang telah dipahami atau dikuasi sebelumnya. Tugas guru dalam pembelajaran adalah menciptakan kegiatann dan lingkungan belajar yang dapat merangsang dan mendorong siswa secara aktif. Sesibuk apapun guru kalau siswa tidak mengalami proses belajar maka pembelajaran sebenarnya tidak pernah terjadi. Dalam prespektif ini, siswa adalah subjek belajar, sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilotator, motivator, desainer dan organisator.
Siswa belajar menggunakan tiga cara, yaitu melalui pengalaman, pengamatan dan bahasa. Guru hendaknya mengupayakan agar pembelajaran pembelajaran bertolak dari apa yang telah diketahui siswa. Guru perlu melakukan, seperti memilih, merancang dan mengorganisasikan kegiatan/pengalaman belajar yang menarik dan bermakna. Menarik yaitu kegiatan yang dilakukan menantang sehingga siswa merasa tidak terbebani. Bermakna artinya kegiatan belajar itu sesuai dengan kebutuhan anak dan tujuan pembelajaran.
2. Belajar Bahasa
Sebelum masuk ke sekolah dasar, anak belajar bahasa melalui komunitasnya, yaitu keluarga, teman, media radio atau televisi, dan lingkungannya. Anak memahami apa yang dikatakan oleh anggota komunitasnya dan sekaligus menyampaikan ide serta perasaan dengan yang lain melalui bahasa yang digunakan.
Anak belajar bahasa dan menguasai bahasa tanpa disadari dan tanpa beban, apalagi diajari secara khusus. Mereka belajar bahasa melalui pola berikut:
a. Semua komponen, sistem dan keterampilan bahasa dipelajari secara terpadu.
b. Belajar bahasa dilakukan secara alami dan langsung dalam konteks yang otentik.
c. Belajar bahasa dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhannya
d. Belajar bahasa dilakukan melalui strategi uji coba (Trial-Error) dan strategi lainnya.
3. Pembelajaran Bahasa
Halliday (1979, dalam Goodman, dkk., 1987) menyatakan ada tiga tipe belajar yang melibatkan bahasa yaitu:
a. Belajar Bahasa
Seseorang mempelajari suatu bahasa dengan fokus pada penguasaan kemampuan berbahasa atau kemampuan berkomunikasi melalui bahasa yang digunakannya. Kemampuan ini melibatkan dua hal, yaitu (1) kemampuan untuk menyampaikan pesan, baik secara lisan (melalui berbicara) maupun tertulis (melalui menulis), serta (2) kemampuan memahami, menafsirkan, dan menerima pesan, baik yang disampaikan secara lisan (melalui kegiatan menyimak) maupun tertulis (melalui kegiatan membaca). Secara implisit, kemampuan-kemampuan itu tentu saja melibatkan penguasaan kaidah bahasa serta pragmatik. Kemampuan pragmatik merupakan kesanggupan pengguna
bahasa untuk menggunakan bahasa dalam berbagai situasi yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan, tujuan, dan konteks berbahasa itu sendiri.
b. Belajar melalui Bahasa
Seseorang menggunakan bahasa untuk mempelajari pengetahuan, sikap, keterampilan. Dalam konteks ini bahasa berfungsi sebagai alat untuk mempelajari sesuatu, seperti Matematika, IPA, Sejarah, dan Kewarganegaraan.
c. Belajar tentang Bahasa
Seseorang mempelajari bahasa untuk mengetahui segala hal yang terdapat pada suatu bahasa, seperti sejarah, sistem bahasa, kaidah berbahasa, dan produk bahasa seperti sastra.
Belajar bahasa Indonesia untuk siswa SD pada dasarnya bertujuan untuk mengasah dan membekali mereka dengan kemampuan berkomunikasi atau kemampuan menerapkan bahasa Indonesia dengan tepat untuk berbagai tujuan dan dalam konteks yang berbeda. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Indonesia berfokus pada penguasaan berbahasa (Tipe 1: belajar bahasa), untuk dapat diterapkan bagi berbagai keperluan dalam bermacam situasi, seperti belajar, berpikir, berekspresi, bersosialisasi atau bergaul, dan berapresiasi (Tipe 2: belajar melalui bahasa). Agar siswa dapat berkomunikasi dengan baik maka siswa perlu menguasai kaidah bahasa dengan baik pula (Tipe 3: belajar tentang bahasa). Dalam konteks ini, penguasaan kaidah bahasa bukan tujuan, melainkan hanyalah sebagai alat agar kemampuan berbahasanya dapat berkembang dengan baik.
Dengan demikian, ketiga tipe belajar tersebut saling terkait. Ketiganya terjadi secara bersamaan dalam belajar bahasa. Ketika siswa belajar kemampuan berbahasa yang terkait dengan penggunaan dan konteksnya, ia pun belajar tentang kaidah bahasa, dan sekaligus belajar menggunakan bahasa untuk mempelajari berbagai mata pelajaran.
Apabila kita berbicara tentang kemampuan berbahasa maka wujud kemampuan itu lazimnya diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu:
a. Kemampuan Menyimak atau Mendengarkan
Kemampuan memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan secara lisan oleh orang lain. Siswa mendengarkan beragam simakan dengan tujuan yang berbeda: untuk berkomunikasi, belajar, hiburan, serta memperoleh, merangkum, mengolah, mengkritisi, dan merespons informasi. Tujuan menyimak yang berbeda tentu saja menuntut strategi menyimak yang berlainan pula.
b. Kemampuan Berbicara
Kemampuan untuk menyampaikan pesan secara lisan kepada orang lain. Pesan di sini adalah pikiran, perasaan, sikap, tanggapan, penilaian, dan sebagainya. Berbicara juga bermacam-macam seperti berinteraksi dengan sesama, berdiskusi dan berdebat, berpidato, menjelaskan, bertanya, menceritakan, melaporkan, dan menghibur.
c. Kemampuan Membaca
Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan secara tertulis oleh pihak lain. Kemampuan ini tidak hanya berkaitan dengan pemahaman simbol-simbol tertulis, tetapi juga memahami pesan atau makna yang disampaikan oleh penulis.
d. Kemampuan Menulis
Kemampuan menyampaikan pesan kepada pihak lain secara tertulis. Kemampuan ini bukan hanya berkaitan dengan kemahiran siswa menyusun dan menuliskan simbol-simbol tertulis, tetapi juga mengungkapkan pikiran, pendapat, sikap, dan perasaannya secara jelas dan sistematis sehingga dapat dipahami oleh orang yang menerimanya, seperti yang dia maksudkan.
Dari penelitiannya, Walter Loban (1976, dalam Tompkins dan Hoskisson, 1995) menyimpulkan adanya hubungan antarketerampilan berbahasa siswa dan keterampilan berbahasa dengan belajar. Pertama, siswa dengan kemampuan berbahasa lisan (menyimak dan berbicara) yang kurang efektif cenderung kurang efektif pula kemampuan berbahasa tulisnya (membaca dan menulis). Kedua, terdapat hubungan yang kuat antara kemampuan berbahasa siswa dengan kemampuan akademik yang diperolehnya.
Pembelajaran bahasa seyogianya didasarkan pada bagaimana siswa belajar dan bagaimana mereka belajar bahasa. Selaras dengan uraian sebelumnya tentang belajar dan belajar bahasa maka paradigma atau cara pandang pembelajaran bahasa di sekolah dasar adalah sebagai berikut:
a. Imersi
Pembelajaran bahasa dilakukan dengan “menerjunkan” siswa secara langung dalam kegiatan berbahasayang dipelajarinya.
b. Pengerjaan (Employment)
Pembelajaran bahasa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan berbahasa yang bermakna, fungsional dan otentik.
c. Demonstrasi
Siswa belajar bahasa melalui demonstrasi – dengan pemodelan dan dukungan – yang disediakan guru.
d. Tanggung jawab
Pembelajaran bahasa yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih aktifitas berbahasa yang akan dilakukannnya.
e. Uji coba
Pembelajaran bahasa yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan dari prespektif atau sudut pandang siswa.
f. Pengharapan (Expectation)
Siswa berupaya untuk suskses atau berhasil dalam belajar, jika merasa bahwa gurunya mengharapkan dia menjadi sukses.
MODUL 2 : PEMEROLEHAN BAHASA ANAK
A. Pemerolehan Bahasa Pertama
1. Pengertian Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa secara alamiah. Proses pemerolehan bahasa memiliki karakteristik berikut:
a. Berjalan secara spontan, tanpa sadar, dan tanpa beban.
b. Terjadi secara langsung dalam situasi informal, tanpa melalui pembelajaran formal.
c. Didorong oleh kebutuhan, baik kebutuhan untuk memahami maupun dipahami orang lain.
d. Berlangsung secara terus-menerus dalam konteks berbahasa yang nyata dan bermakna.
e. Diperoleh secara lisan melalui tindak berbahasa menyimak/mendengarkan dan berbicara.
Kegiatan pemerolehan bahasa melibatkan dua kemampuan. Pertama, kemampuan reseptif, yaitu kemampuan menyerap, menerima, dan memahami tuturan orang lain. Kedua, kemampuan produktif, yaitu kemampuan menghasilkan tuturan, untuk mengekspresikan diri atau menanggapi rangsang bahasa yang disampaikan oleh orang lain. Ketika anak melakukan kegiatan berbahasa secara langsung, secara perlahan dan tentu saja tanpa disadari, telah terbangun unsur dan kaidah bahasa (kosakata, struktur, dan makna) dan kaidah berbahasa.
Bahasa pertama (B1) adalah bahasa yang pertama kali dipelajari dan dikuasai oleh seorang anak. Bahasa pertama itu bisa hanya satu bahasa atau dua bahasa yang dikuasai anak secara bersamaan. Sementara itu, bahasa kedua adalah bahasa yang dikuasai anak setelah menguasai bahasa pertama. Dalam menguasai dua bahasa atau lebih, anak dapat melakukannya secara serempak atau berurut. Pemerolehan serempak dua bahasa (simultaneous bilingual acquisition) terjadi pada anak yang dibesarkan dalam masyarakat bilingual (dua bahasa) atau multilingual (lebih dari dua bahasa). Anak mengenal, mempelajari, dan menggunakan kedua bahasa tersebut sama baiknya secara bersamaan. Pemerolehan berurut dua bahasa (successive bilingual acquisition) terjadi apabila penguasaan anak atas dua bahasa atau lebih terjadi dalam rentang waktu yang berjauhan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak biasanya terjadi karena beberapa hal berikut:
a. Pasangan suami istri hanya menguasai bahasa Indonesia.
b. Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang berbeda. Masing-masing pihak tidak menguasai bahasa pasangannya dengan baik.
c. Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang sama, dengan situasi berikut:
1) Lingkungan sekitar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi kesehariannya.
2) Lingkungan sosial sekitar tempat tinggal keluarga tersebut menggunakan bahasa daerah yang tidak dikuasai oleh keluarga tersebut (mungkin keluarga pendatang).
3) Lingkungan sekitar menggunakan bahasa daerah yang sama dengan bahasa yang digunakan dalam suatu keluarga. Tetapi karena pertimbangan praktis, keluarga tersebut memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.
2. Teori Pemerolehan Bahasa
a. Pandangan Nativistis
Menurut pandangan nativistis, setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan kemampuan bawaan atau alami untuk dapat berbahasa. Bukan lingkungan yang membuat anak mampu berbahasa. Juga bukan karena meniru orang lain karena banyak juga ungkapan kreatif yang dimunculkan anak ketika berbahasa, yang belum pernah dicontohkan sebelumnya. Jadi, kalau bukan karena kemampuan bawaan, mustahil anak dapat mempelajari dan menguasai suatu bahasa yang komponen dan aturannya begitu rumit hanya dalam waktu yang begitu singkat. Hanya dalam waktu sekitar empat tahun anak telah dapat berbahasa dengan rapi dan komunikatif. Selama belajar bahasa, sedikit demi sedikit potensi berbahasa yang secara genetis telah terprogram menjadi terbuka dan berkembang.
Kemampuan bawaan berbahasa itu disebut dengan ’piranti pemerolehan bahasa’ (language acquisition device atau LAD) yang berpusat di otak. Piranti itulah yang membuat anak dapat berbahasa, sebagaimana halnya sirip dan ekor yang memungkinkan seekor ikan bisa berenang.
Cara kerja LAD yaitu Ujaran atau tuturan lisan dalam lingkungan anak memberikan masukan kepada anak. Selanjutnya, data tersebut diolah oleh LAD dengan memakai potensi gramatika bahasa anak sehingga tersusunlah pola-pola kaidah bahasa dan kaidah berbahasa pada diri anak, kemudian tercermin dalam tindak berbahasa (ujaran) yang dihasilkan anak yang sesuai dengan pola ujar orang dewasa.
b. Pandangan Behavioristis
Menurut behavioris, penguasaan bahasa anak ditentukan oleh rangsangan yang diberikan lingkungannya. Anak tidak memiliki peranan aktif, hanya sebagai penerima pasif. Perkembangan bahasa anak terutama ditentukan oleh kekayaan dan lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungan, serta peniruan yang dilakukan anak terhadap tindak berbahasa lingkungannya.
c. Pandangan Kognitif
Menurut pandangan kognitif, penguasaan dan perkembangan bahasa anak ditentukan oleh daya kognitifnya. Lingkungan tidak serta merta memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan bahasa anak, kalau si anak sendiri tidak melibatkan secara aktif dengan lingkungannya. Dengan kata lain, anaklah yang berperan aktif untuk terlibat dengan lingkungannya agar penguasaan bahasanya dapat berkembang secara optimal.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak
a. Faktor Biologis
Perangkat biologis yang menentukan penguasaan bahasa anak adalah otak (sistem syaraf), alat dengar, dan alat ucap. Ketergantungan pada salah satu, apalagi ketiganya, akan menghambat kemampuan berbahasa anak. Kemampuan berbahasa anak-anak tunarungu, lemah mental, gagap atau tunawicara maka kemampuan berbahasa mereka pasti berbeda dengan anak yang ketiga perangkat biologisnya sehat dan normal.
b. Faktor Lingkungan Sosial
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa setiap anak memiliki kemampuan bawaan dan kelengkapan berbahasa. Namun demikian, untuk menumbuhkembangkan kemampuan berbahasanya, seorang anak memerlukan lingkungan sosial sebagai contoh atau model berbahasa, memberikan rangsangan, dan tanggapan, serta melakukan latihan dan uji coba berbahasa dalam konteks yang sesungguhnya.
Lingkungan sosial di sini adalah perilaku berbahasa orang tua, saudara, kerabat, keluarga, teman atau anggota masyarakat. Lingkungan yang kaya sumber, mendukung, dan aktif dalam berinteraksi dengan anak, akan membuat pemerolehan bahasa anak semakin beraneka dan cepat. Sebaliknya, lingkungan yang miskin dengan aktivitas berbahasa, terlalu banyak menekan dengan melakukan pelarangan dan menyalahkan, dan rendah dalam berinteraksi, akan menjadikan pemerolehan bahasa anak pun tidak beragam, miskin, dan lambat. Dukungan dan keterlibatan sosial begitu penting bagi anak dalam belajar bahasa. Inilah yang disebut dengan ’Sistem Pendukung Pemerolehan Bahasa’ atau Language Acquisition Support System atau LASS.
Cara lingkungan sosial memberikan dukungan kepada anak dalam belajar pemeroleh bahasa adalah sebagai berikut:
1) Bahasa semang (motherless), yaitu cara bahasa yang dilakukan orang dewasa terhadap bayi atau balita melalui penyederhanaan kata atau kalimat, dengan penggunaan tempo yang lebih lambat dan nada yang lebih lembut. Cara bahasa ini memiliki peran penting untuk dapat menangkap perhatian dan memelihara komunikasi dengan anak.
2) Parafrase, yaitu pengungkapan kembali ujaran yang diucapkan anak dengan cara yang berbeda, untuk membantu anak belajar bahasa.
3) Menegaskan kembali (echoing), yaitu mengulang apa yang disampaikan anak, terutama apabila tuturannya tidak lengkap, tidak jelas atau tidak sesuai dengan maksud.
4) Memperluas (expanding), yaitu mengungkapkan kembali apa yang disampaikan anak dalam bentuk kebahasaan yang lebih kompleks.
5) Menamai (labeling), yaitu melakukan identifikasi suatu benda dengan nama yang sesuai.
6) Penguatan (reinforcement), yaitu menanggapi dan memberikan respons positif atas perilaku berbahasa anak.
7) Pemodelan (modelizing), yaitu pemberian contoh atau model berbahasa yang ditunjukkan orang dewasa kepada anak.
c. Faktor Intelegensi
Inteligensi adalah kemampuan seseorang dalam berpikir atau bernalar, termasuk memecahkan suatu masalah. Inteligensi bersifat abstrak dan tak dapat diamati langsung, kecuali melalui perilaku. Dalam kaitannya dengan pemerolehan bahasa, anak-anak yang bernalar tinggi tingkat pencapaiannya cenderung lebih cepat, lebih kaya, dan lebih bervariasi khasanah bahasanya, daripada anak yang bernalar sedang atau rendah. Jadi, pengaruh inteligensi terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas perkembangan bahasanya.
d. Faktor Motivasi
Dalam belajar bahasa, anak tidak melakukannya demi bahasa itu sendiri. Anak belajar bahasa karena adanya kebutuhan dasar yang bersifat praktis, seperti lapar, haus, sakit, serta perhatian dan kasih sayang. Inilah yang disebut dengan motivasi intrinsik, yang berasal dari diri anak itu sendiri.
Pemberian motivasi dari lingkungan sosial sangat berarti bagi anak untuk membuatnya kian bergairah belajar bahasa. Anak yang dibesarkan dengan motivasi belajar bahasa yang tinggi akan kian memicu proses belajar bahasa anak. Pemicuan motivasi itu, di antaranya dengan cara merespons dengan bijak pertanyaan dan komentar anak, memperbaiki tindak berbahasa anak secara halus dan tidak langsung, dan tidak segera menyalahkan bila anak melakukan suatu kesalahan.
4. Strategi Pemerolehan Bahasa
Sejumlah strategi dalam belajar suatu bahasa, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Mengingat
Mengingat memainkan peranan yang cukup penting dalam belajar bahasa atau belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak, dicatat dalam benaknya. Ketika dia menyentuh, menyerap, mencium, mendengar, dan melihat sesuatu, memori anak merekamnya.
Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan tentang bunyi dan kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang merujuk pada sesuatu yang dia dengar atau alami. Ingatan itu akan semakin kuat apabila penyebutan akan benda atau peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Dengan cara ini anak akan mengingat bunyi, kombinasi bunyi atau kata, tentang sesuatu sekaligus mengingat pula cara mengungkapkannya. Hanya saja, ketika diungkapkan bunyinya tidak selalu tepat. Mungkin lafalnya tidak pas, strukturnya terbalik atau hanya suku kata awal atau akhir yang terucapkan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan kelengkapan fisik berbahasa anak masih sedang berkembang. Oleh karena itu, dalam berbahasa anak-anak biasanya dibantu oleh ekspresi muka, gerak tangan, gerak tubuh, dan konteks.
b. Meniru
Dalam belajar bahasa anak pun menggunakan strategi peniruan. Peniruan di sini bisa berarti mencontoh secara kreatif atau menginspirasi. Pada dasarnya, peniruan yang dilakukan anak tidak selalu berupa pengulangan yang persis sama atas apa saja yang didengarnya. Hal ini karena dalam belajar bahasa, seorang anak tidak sekadar menangkap kata-kata.
Dia juga mencerna dan mengolah prinsip-prinsip organisasi bahasa secara alami. Dengan demikian, peniruan yang dilakukan anak bersifat dinamis dan kreatif. Karena strategi peniruan itu pula maka orang yang menjadi model (memberikan contoh dan masukan) berbahasa akan sangat mempengaruhi corak bahasa yang dimiliki anak. Apabila modelnya baik maka anak pun akan mempelajari versi bahasa yang baik, logis, dan santun. Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik maka versi bahasa yang kurang baik itulah yang akan dipelajari dan digunakan anak.
c. Mengalami Langsung
Strategi lain yang mempercepat anak menguasai bahasa pertamanya adalah mengalami langsung kegiatan berbahasa dalam konteks yang nyata. Anak menggunakan bahasanya baik ketika berkomunikasi dengan orang lain, maupun sewaktu sendirian. Dia menyimak dan berbicara langsung, dan sekaligus memperoleh tanggapan dari mitra bicaranya. Dari tanggapan yang diperolehnya, secara tidak sadar anak memperoleh masukan tentang kewajaran dan ketepatan perilaku berbahasanya, dan dalam waktu yang sama juga si anak mendapat masukan dari tindak berbahasa yang dilakukan mitra berbicaranya.
d. Bermain
Kegiatan bermain sangat penting untuk mendorong pengembangan kemampuan berbahasa anak. Dalam bermain, si anak kadang berperan sebagai orang dewasa; sebagai penjual atau pembeli dalam bermain dagang-dagangan; ibu, bapak atau anak dalam bermain rumah-rumahan; sebagai dokter, perawat atau pasien; atau sebagai guru dan murid dalam bermain sekolah-sekolahan. Tanpa disadari, mereka sedang bermain drama, sekaligus mereka berlatih berbicara dan menyimak.
e. Penyederhanaan
Di samping perbuatan anak bersifat egosentris (berpusat pada dirinya, perkembangan kemampuan anak yang bertahap yang membuat tuturan yang digunakannya lebih sederhana dan langsung. Satu atau dua kata mewakili satu kalimat. Ciri berbahasa anak seperti itu disebut penyederhanaan atau reduksi. Strategi itu tentu saja tidak disadari si anak. Meskipun sederhana, kita sebagai orang dewasa akan memahaminya karena dibantu oleh konteks terjadinya perilaku berbahasa anak.
5. Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa
a. Tahap Pralinguistik
Pada tahap ini, bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan akan semakin mendekati bunyi vokal atau konsonan tertentu. Tetapi, umumnya bunyi-bunyi tersebut belumlah mengacu pada kata atau kalimat dengan makna tertentu. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak pada fase ini disebut tahap pralinguistik.
Fase ini berlangsung sejak anak lahir sampai berumur sekitar 12 bulan.
1) Pada umur 0 - 2 bulan, anak hanya mengeluarkan bunyi-bunyi refleksif untuk menyatakan rasa lapar, haus, sakit atau ketidaknyamanan, serta bunyi-bunyi vegetatif yang berkaitan dengan aktivitas tubuh, seperti batuk, bersin, sendawa, telanan (ketika makan), dan tegukan (ketika menyusu atau minum).
2) Pada umur 2 – 5 bulan, anak mulai mendekut dan mengeluarkan bunyibunyi vokal yang bercampur dengan bunyi-bunyi mirip konsonan. Bunyi itu biasanya muncul sebagai respons terhadap senyum atau ucapan orang tuanya.
3) Pada umur 4 – 7 bulan, anak mulai mengeluarkan bunyi yang agak utuh dengan rentang waktu yang lebih lama. Bunyi mirip vokal dan konsonannya lebih bervariasi. Konsonan nasal /m/ dan /n/ sudah mulai muncul. d. Pada umur 6 – 12 bulan, anak mulai berceloteh. Celotehannya berupa reduplikasi atau pengulangan konsonan dan vokal yang sama, seperti /ba-ba-ba/, /ma-ma-ma/, dan /da-da-da/. Vokal yang muncul adalah vokal dasar /a/ dengan konsonan hambat labial /p, b/, nasal /m, n, n/, dan alveolar /t, d/. Selanjutnya, celotehan reduplikasi tersebut berubah lebih bervariasi. Vokalnya sudah mulai menuju vokal /u/ dan /i/. Konsonan frikatif pun, seperti /s/ sudah mulai muncul.
b. Tahap Satu-Kata atau Holofrasis
Fase ini berlangsung ketika anak berusia 12 – 18 bulan. Pada tahap ini, anak menggunakan satu kata yang bermakna mewakili keseluruhan ide yang disampaikannya. Tegasnya, satu kata yang diucapkan anak mewakili satu frasa, kalimat atau wacana. Karena itu, fase ini disebut juga tahap holofrasis. Kata-kata yang diucapkan anak adalah kata-kata yang telah dikenal dan dikuasainya. Kata-kata itu biasanya sering muncul dalam tuturan keseharian di lingkungan anak. Kata-kata itu umumnya berkaitan dengan kegiatan rutin anak, pemanggilan orang-orang sekitar, dan benda atau objek yang dekat dengan anak.
c. Tahap Dua-Kata
Fase ini berlangsung sewaktu anak berusia sekitar 18 – 24 bulan. Pada tahap ini kosakata dan gramatika anak berkembang dengan cepat, seiring dengan kematangan otak dan alat ucapnya. Dalam bertutur anak-anak mulai menggunakan dua kata: papa ikut, mamah main, mau bobo, dan sebagainya. Hanya kata-kata pokok yang diucapkan anak, seperti kata benda, kata kerja (dasar), dan/atau kata sifat. Tak ada kata tugas seperti kata depan atau kata penghubung.
d. Tahap Telegrafis
Antara usia 2 – 3 tahun anak telah menghasilkan ujaran dalam bentuk kalimat-kalimat pendek. Ciri yang paling mencolok pada fase ini bukanlah pada jumlah kata yang dihasilkan anak, tetapi pada variasi bentuk kata yang sudah mulai muncul. Namun demikian, pada fase ini, anak belum menggunakan kata tugas dalam bertutur. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak pada fase ini disebut dengan tahap telegrafis. Seiring dengan bertambahnya usia dan perkembangan otak dan perangkat biologis lainnya maka kemampuan anak pun (kaidah bahasa dan kaidah berbahasa) akan semakin meningkat hingga mendekati tuturan orang dewasa.
B. Pemerolehan Bahasa Kedua
1. Pengertian dan Cara Pemerolehan Bahasa Kedua
Suatu bahasa disebut bahasa kedua apabila bahasa tersebut dikuasai anak melalui belajar secara formal. Dalam memperoleh B2 banyak cara yang dilakukan. Secara umum, tipe perolehan B2 dapat dibedakan menjadi pemerolehan B2 secara terpimpin, secara alamiah, serta terpimpin dan alamiah (Lihat Subyakto-Nababan, 1992). Pemerolehan B2 secara terpimpin dilakukan melalui aktivitas pembelajaran, baik di sekolah maupun kursus atau les. Umumnya, ragam bahasa yang dipelajari bersifat formal atau baku. Sementara itu, pemerolehan B2 secara alamiah dilakukan secara spontan. Dengan demikian seorang anak bisa memiliki beberapa bahasa pertama dan juga beberapa bahasa kedua.
Kunci keberhasilan belajar B2 adalah kemauan belajar, keberanian mempraktikkan dalam situasi riel, dan keintensifan dalam berkomunikasi dengan B2. Memang penting belajar kosakata dan kaidah bahasa dengan menggunakan berbagai sumber. Tetapi, tak kalah pentingnya adalah faktor individu pembelajar B2, dalam hal ini keberanian menggunakan bahasa tersebut dalam interaksi dengan penutur asli atau pengguna B2. Tidak malu, tidak takut salah, dan tidak perlu khawatir ditertawakan kalau unjuk berbahasanya kurang pas. Semakin berani dalam berbahasa dan semakin intensif dalam berinteraksi, biasanya semakin cepat B2 tersebut dikuasai.
2. Teori Pemerolehan Bahasa Kedua
a. Model Akulturasi
Akulturasi adalah proses adaptasi atau penyesuaian dengan kebudayaan baru. Dalam pemerolehan B2, akulturasi dipandang penting karena bahasa sebagai ungkapan budaya serta berhubungan dengan saling menilai antara masyarakat B1 dengan B2. Akulturasi ditentukan oleh jarak sosial dan jarak psikologis antara pembelajar (B1) dengan budaya bahasa sasaran (B2). Jarak sosial adalah pengaruh faktor-faktor pembelajar sebagai anggota masyarakat yang harus berhubungan dengan masyarakat ’pemilik’ B2. Sementara itu, jarak psikologis adalah pengaruh faktor afeksi pembelajar sebagai pribadi pembelajar.
Faktor-faktor yang menentukan jarak sosial antara kelompok B1 dan B2 adalah:
1) kesamaan derajat sosial;
2) timbulnya keinginan asimilasi;
3) saling terlibatnya antardua kelompok;
4) kelompok belajar B2 kecil dan tidak kohesif;
5) kesesuaian budaya;
6) saling memiliki sikap positif;
7) lama tidaknya berasimilasi antara kelompok B1 dan B2.
Sementara itu, faktor-faktor penentu jarak psikologis yang sebenarnya lebih bersifat afektif, meliputi kejutan bahasa, guncangan budaya, motivasi, dan batas-batas keakuan.
b. Teori Akomodasi
Teori akomodasi menyatakan bahwa hubungan masyarakat B1 dengan B2 dalam berinteraksi sangat menentukan pemerolehan B2. Faktor-faktor berikut akan mempermudah dan mempengaruhi keberhasilan pembelajar dalam mempelajari B2:
1) Anggapan pembelajar B2 bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat B2.
2) Tidak memandang rendah kelompok masyarakat B2.
3) Persepsi pembelajar tentang pentingnya etnolinguistik.
4) Terbuka dan tidak ketat dalam mempersepsikan batas kelompok B1 dengan B2.
5) Pembelajar B1 mengidentifikasi diri sama kuat dan memuaskannya dengan kelompok sosial lainnya.
c. Teori Wacana
Teori wacana menekankan pentingnya pembelajar B2 menemukan makna bahasa melalui keterlibatannya dalam berkomunikasi. Melalui kesertaannya dalam komunikasi, pembelajar dapat mengembangkan kaidah gramatika dan penggunaan bahasanya. Teori wacana mempunyai sejumlah prinsip utama berikut:
1) Pemerolehan B2 mengikuti urutan alamiah dalam perkembangan sintaksis.
2) Penutur asli akan menyesuaikan tuturannya untuk mencapai makna yang disepakati bersama penutur nonasli.
3) Strategi percakapan yang ditempuh untuk mencapai makna yang disepakati dan masukan mempengaruhi kecepatan dan urutan pemerolehan B2.
Menurut teori wacana interaksi sosial sangat penting karena dapat memberikan data terbaik bagi pembelajar untuk dapat diolah oleh otak. Melalui data tersebut disusunlah suatu model masukan yang pantas dan terkait.
d. Model Monitor
Monitor adalah proses konstruksi kreatif dalam berbahasa. Model Monitor memiliki lima hipotesis berikut yang mempengaruhi pemerolehan B2:
1) Hipotesis pemerolehan-pembelajaran
2) Hipotesis urutan alamiah
3) Hipotesis monitor
4) Hipotesis masukan
5) Hipotesis saringan afektif
e. Model kompetensi variabel
Model ini menyatakan bahwa cara seseorang mempelajari bahasa akan mencerminkan cara orang itu menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Produk penggunaan bahasa terdiri atas berbagai macam produk bahasa (wacana) dari yang tidak terencana sampai yang terencana. Produk yang tidak direncanakan adalah wujud penggunaan bahasa yang penyampaiannya bersifat spontan, tanpa persiapan, dan tidak melalui pemikiran yang matang. Penggunaan bahasa ini terjadi dalam komunikasi rutin seperti tutur-sapa, percakapan.
Model kompetensi variabel menyampaikan prinsip-prinsip berikut:
1) Pembelajar menyimpan pengetahuan tunggal yang berisi kaidah-kaidah bahasa antara (interlangue). Secara otomatis, penyimpan ini akan aktif apabila dirangsang, didorong, dan dipicu untuk berlatih menerapkan B2.
2) Pembelajar memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa. Kemampuan itu berbentuk:
a) proses wacana primer,
b) proses wacana sekunder
c) proses kognitif
3) Tampilan B2 merupakan variable yang dihasilkan melalui proses primer dalam wacana yang tidak terencana atau proses sekunder dalam wacana yang direncanakan.
4) Perkembangan pemerolehan B2 terjadi sebagai akibat:
a) pemerolehan kaidah-kaidah baru dari B2 melalui keterlibatan pembelajar dalam berbagai tipe wacana;
b) pengaktifan kaidah-kaidah B2 yang sudah ada pada dalam bentuk tidak teranalisis dan tidak otomatis atau teranalisis sehingga dapat digunakan untuk wacana yang tidak direncanakan.
f. Hipotesis Universal
Hipotesis universal menyatakan bahwa anak menemukan kaidah-kaidah bahasa dengan bentuk gramatika universal, yakni gramatika inti. Contoh gramatika universal, umumnya bahasa memiliki struktur kalimat yang berpola subjek-predikat. Dalam pembelajaran B2 jika pembelajar menemukan kaidah B2 yang bermarkah, pembelajar tersebut tergoda untuk kembali ke kaidah B1, terutama apabila B1 itu memiliki kaidah universal yang sama.
g. Teori Neurofungsional
Teori ini menyatakan adanya hubungan antara bahasa dengan anatomi syaraf. Dua daerah dalam otak, yaitu belahan otak kanan (daerah Wernickle) dan belahan otak kiri (daerah Brocka), menentukan pemerolehan B2. Belahan otak kanan berkaitan dengan proses menyeluruh dan berfungsi untuk merekam dan memproses ujaran yang berpola. Sementara belahan otak kiri berkaitan dengan penggunaan bahasa secara kreatif yang meliputi pemrosesan secara sintaktik dan semantik, serta pengendali aktivitas berbicara dan menulis. Dalam kaitannya dengan pemerolehan B2, fokus teori ini berkenaan dengan perbedaan usia (pada usia kritis otak berada pada kesiapan sempurna untuk belajar bahasa), fosilisasi (aspek bahasa yang telah terkuasai bertahun-tahun hingga usia dewasa menjadi unsur kompetensi yang otomatis dan memfosil atau menetap secara permanen), ujaran terpola, dan pola latihan di kelas dalam mempelajari B2.
Pemerolehan B2 dapat diterangkan menurut fungsi syaraf dengan memperhatikan dua hal. Pertama, fungsi syaraf yang mana yang digunakan untuk berkomunikasi. Kedua, tingkatan mana dalam system syaraf tersebut yang dilibatkan.
....................................................................................................................

Baca Juga :
Penelusuran yang terkait dengan pendidikan bahasa indonesia di sd
Terima kasih Ka
BalasHapusSangat bermanfaat
Berbagi juga untuk kawan-kawan mahasiswa UT
Rangkuman Materi Kuliah Universitas Terbuka PGSD
Rangkuman Materi Kuliah Universitas Terbuka PGSD BI
Masha Allah Tabarakallah yaa, sangat bermanfaat sekali blognya, Terimakasih kak
BalasHapus